Main Menu

Kabar dari Lokananta

  

Restorasi adalah suatu gerakan perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Hal itu juga berlaku dalam bidang musik. Dalam konteks ini adalah eksistensi musik Indonesia di tengah pesatnya perkembangan industri musik modern dewasa ini yang cenderung menghamba kepada pasar. Balawan, seorang gitaris asal Bali dalam sebuah acara musik di televisi mengatakan “Kondisi musik di Indonesia selalu serba instan, selalu ada yang ada di televisi merupakan tujuan akhir dari bermusik”.

Seakan hilang ditelan jaman, begitulah Lokananta. Semakin sedikit yang tahu, apalagi mengenal perusahaan rekaman musik pertama Indonesia milik negara yang terletak di Kota Solo ini.

Lokananta dirintis dua pegawai Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero tahun 1950. Namun, pabrik piringan hitam pertama ini baru resmi berdiri dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementerian Penerangan RI di Surakarta pada 29 Oktober 1956.

Sekitar 40 ribu keping piringan hitam tersimpan dalam rak-rak di beberapa ruang yang berukuran 6 x 8 meter di kompleks Lokananta. Dari lagu daerah, lagu hiburan (pop), keroncong, wayang, gending Jawa, hingga pidato kenegaraan. Itu belum termasuk ribuan piringan hitam yang tak terdata dan tak terselamatkan.

Perawatan koleksi yang dimiliki Lokananta dibuat sehemat mungkin. Untuk menjaga piringan hitam agar tidak lembab, pintu dan jendela sesekali dibuka agar udara dan sianar matahari dapat teratur masuk. Kadang-kadang debu disedot dengan mesin. Bau tidak sedap dihilangkan dengan aroma kopi, sayangnya usaha ini tidak bisa dikatakan berhasil karena bau tidak sedap masih terasa menyengat di hidung.

Saat ini, Lokananta berada antara hidup dan mati. Lokananta tak mendapat dukungan dana yang memadai dari Pemerintah. Kegiatan recording, penggandaan kaset dan remastering (memindahkan isi rekaman dalam pita reel yang masih dalam bentuk analog ke data digital di komputer) rutin dilakukan. Dengan karyawan yang berjumlah 19 orang dan penghasilan studio rekaman yang tak seberapa, gaji mereka tergolong minim, bahkan diantara mereka masih di bawah batas UMR.

Apakah pemerintah tidak tahu atau memang tidak mau tahu? Keluh kesah tentang kondisi Lokananta sudah pasti terdengar, namun sayangnya tidak ditindaklanjuti. Perubahan masih juga tak kunjung datang.

Buktinya, untuk memproduksi sebuah rekaman saja, karyawan Lokananta harus patungan. Karyawan Lokananta memutar otak untuk menghidupinya. Hanya mengandalkan jasa rekam lagu-lagu lama sangat tidak cukup untuk membuat karyawan sejahtera. Sebagian properti coba dimanfaatkan guna menambah pemasukan, seperti usaha futsal, studio band, dan penyewaan ruangan untuk sebuah kantor asuransi.

Ironis memang. Lokanantalah yang menjadi tempat seniman besar seperti Gesang, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun. dan Waldjinah merekam karyanya. Kita harus mengakui keberadaan Lokananta yang telah membantu melestarikan salah satu aset sejarah musik Indonesia mulai terlupakan dengan munculnya perusahaan-perusahaan rekaman modern.

Di balik cerita-cerita itu, Lokananta masih berdiri tegar. Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia yang didirikan tahun 1956, sejarah menjadikannya kuat, dan tetap dicintai oleh sebagian orang, minimal pekerja yang menghidupinya. Namun, lokananta bukanlah soal romantisme sejarah saja, harus diakui Lokananta merupakan salah satu aset berharga Indonesia.





1 komentar:

Fuadiyah mengatakan...

you bravo, mr... :)

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.